Urgensi Mediasi Dalam Penyelesaian Syiqaq Antara Suami Dan Istri Menurut Fiqh Syafi’iyyah Dan Hukum Positif

Authors

  • Mahmudi Hanafiah Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga Bireuen Aceh
  • Muhammad Iqbal Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga Bireuen Aceh

DOI:

https://doi.org/10.52029/pjhki.v1i2.153

Keywords:

Syiqaq, Mediasi, Mazhab Syafi’i, Hukum Positif

Abstract

Setiap pasangan suami istri mendambakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Akan tetapi, tidak semua orang mampu mewujudkan dambaan tersebut. Perselisihan pendapat antara suami dan istri (syiqāq) sering kali memicu konflik yang berkepanjangan, bahkan kadang-kadang berujung kepada perceraian. Untuk menghindari hal tersebut, perlu adanya penanganan sejak dini dengan melakukan upaya damai melalui mediasi. Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan, yang kedudukannya hanya sebagai penasihat, dia tidak berwewenang untuk memberi keputusan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Mediasi telah lahir sejak masa Rasulullah yang diawali dengan turunnya surat al-Nisa’ ayat 34 dan 35 sebagai jawaban terhadap persengketaan salah seorang sahabat dengan istrinya ketika itu. Di Indonesia, mediasi secara umum mulai diberlakukan sejak tahun 1999 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan terus mengalami penegasan dan pembaharuan sampai ditetapkannya PERMA nomor: 01 Tahun 2016.Mediasi merupakan suatu kewajiban dalam mazhab syafi’i. Para mediator tidak mesti dari keluarga para pihak, akan tetapi hukumnya sunat. Para mediator tidak mempunyai wewenang untuk memberlakukan keputusan terhadap para pihak, karena mereka hanya berperan sebagai wakil dari masing-masing para pihak. Ketentuan-ketentuan mediasi di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sejak tahun 1989, dan terus dilakukan penegasan dan perubahan sampai lahirnya peraturan yang terakhir, yaitu PERMA no. 1 Tahun 2016.

References

‘Alī ibn Muhammad. (2004). Tafsīr al-Khāzin. Cet. I. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Jld. I.

Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad al-Ba’lī. (t.t.). Al-Raudh al-Nadī Syarẖ Kāfī al-Mubtadī.

Ahmad Warson Munawwir. (1997). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Cet. XIV. Surabaya: Pustaka Progressif.

Dedi Sumanto, Syamsinah. Mediasi dan Hakam dalam Hukum Acara Peradilan Agama. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am.

Departemen Agama R. (2005). Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Syaamil Media Cipta.

http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/pengertian-dan-jenis-jenis-mediasi.html. Diakses pada tanggal 27Oktober 2018.

Imam Mawardi, Nuroddin Usman, Muis Sad Iman, dkk. (2012). Seri Studi Islam Pranata Sosial di dalam Islam. Cet. I. Magelang: P3SI. UMM.

Jalāl al-Dīn. (t.t.). Al-Maẖallī ‘alā minhāj al-Thālibin, Semarang: Karya Toha Putra.

Kamus Pusat Bahasa. (2008). Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa.

Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakar Al-Qurthubiy. (2006). Al-Jāmi’ al-Aĥkām wa al-Mubayyin limā Tadhammanahū min al-sunnah wa Āy al-Furqān, Beirut: Muassasah al-Risālah.

Muhammad ibn Ahmad al-Maẖallī. (2006). Syarẖ al-Waraqāt. Cet. I. Indonesia: al-Ḥaramain.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Wahbah Zuhaili. (2009). Al-Tafīr al-Munīr fī al-Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Minhaj. Cet. X, Damaskus: Dār al-Fikr. Jld. III.

Downloads

Published

2023-12-10

Issue

Section

Articles